FADHILAH DAN ADAB
MEMBACA AL- QUR`AN
Oleh: Agus Triyono dan Anas Habibi
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud dari sahabat Utsman bahwa
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
((خيركم من تعلم
القرآن وعلمه))
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-qur`an dan
mengajarkannya kepada orang lain". (HR. Bukhari IX/99, Turmudzi no:2909, Abu
Dawud no:1452).
Dan berkata Ath Thibiy: “Sebaik-baik manusia bila ditinjau dari belajar
dan mengajarnya adalah orang yang
belajar Al-qur`an dengan sungguh-sungguh lalu ia mengajarkannya kepada orang
lain".
Orang yang belajar Al-qur`an itu mempunyai kelebihan, karena secara
langsung atau tidak ia telah menjaga dan menyelamatkan ilmu-ilmu syar`i (dien),
yang merupakan ushul/pokok dari segala
macam ilmu. Dengan demikian ia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu (dasar)
dengan belajarnya itu ,dan sekaligus ia telah bersumbangsih kepada orang lain dengan
cara pengajarannya tersebut. Maka jadilah ia seorang mukmin yang paling
sempurna. (Aunul Ma`bud:
IV/325).
Dan dalam sebuah hadits yang lain disebutkan, bahwa Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
((الذي يقرأ
القرآن وهو ماهر به مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ وهو يشتد عليه
فله أجران))
"Orang yang
membaca Al-qur`an dan ia mahir (membacanya), maka ia akan bersama para
malaikat, sedang orang yang menbaca Al-qur`an dengan terbata-bata maka baginya adalah dua pahala."
(Bukhari: VIII/532, Muslim no:792, Turmudzi no:2906, Abu Dawud no:1454)
Kata-kata mahir di dalam hadits ini bisa berarti bagus hafalannya atau
juga bisa diartikan dengan bagus lafadz dan makhrajnya, atau juga bisa mencakup
antara keduanya. Dan orang yang menbaca dengan terbata-bata baginya dua pahala,
yaitu pahala bacaannya dan pahala kesusahannya dalam membaca Al-qur`an sehingga
ia harus banyak mengulang-ulang bacaannya.
Al-Qadhi mengatakan: "Tidaklah benar bahwa orang yang
bacaannya terbata-bata itu pahalanya lebih banyak dari orang yang bacaannya
lancar. Tetapi orang yang bacaannya baik dan ia mahir itu lebih baik dan
sempurna, hal itu karena bacaannya lebih banyak dan lebih bagus serta banyak
terhindar dari kesalahan". (Aunul Ma`bud: IV/327).
Dan di antara fadhilah membaca Al Qur’an sebagaimana yang telah Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam isyaratkan di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu:
((ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون
كتاب الله ويتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وخفتهم الملائكة
وذكرهم الله فيمن عنده))
"Tidaklah
suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca
Al-qur`an dan mempelajarinya bersama-sama, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi
oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, kemudian Allah akan menyebut-nyebut mereka di antara mereka yang
berada di sisi Allah." ( Muslim
no:2699, Abu Dawud no:4946, Turmudzi no:1425).
Dan dalam sebuah hadits disebutkan :
عن أبي أمامة الباهلي قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول: ((اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأ صحابه, اقرؤوا الزهروين: البقرة وسورة آل عمران فإنهما يأتيان
يوم القيامة كأنهما غمامتان أو كأنهما غبايتان أوكأنهما فرقان من طير صواف تحاجان
عن أصحابهما, اقرؤوا سورة البقرة فإن أخذهما بركة وتركها سرة ولايستطيعها البطلة)).
“Dari Abi Umamah
Radhiallahu'anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam bersabda: “Bacalah Al-qur`an
sesungguhnya ia datang pada hari kiamat
sebagai syafa’at bagi pembacanya. Bacalah Azzahrawaini: Al-Baqarah dan
Ali-Imran, sesungguhnya keduanya akan datang pada hari kiamat seakan-akan
seperti awan (mendung), atau seakan-akan seperti sekumpulan burung-burung,
keduanya akan membela bagi sang pemiliknya (pembaca). Bacalah Al-Baqarah sungguh mengambilnya adalah suatu
berkah dan meninggalkannya adalah suatu kerugian dan tidak akan bisa
membahayakannya sihir”. (HR. Muslim no:804, VI/78).
An Nawawi mengatakan di dalam syarahnya:
“Dinamakan Azzahrawaini karena cahaya dan hidayah kedua surat tersebut serta
keagungan pahala yang diberikan”. (Syarah Shahih Muslim: VI/79).
Sedangkan didalam Jami`ul Ushul bahwa pengibaratan Al-qur`an
dengan awan (mendung) maksudnya adalah
bahwa surat tersebut bagaikan sesuatu
yang melindungi manusia dari sesuatu yang mambahayakan dari atas mereka.
(Jami`ul Ushul: VIII/4710).
عن جابر بن عبد
الله رضي الله عنهما قال: خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ
القرآن وفينا الأعرابي والعجم، فقال: ((اقرؤوا القرآن فكل حسن وسيجيئ أقوام
يقيمونه كما يقام القدح يتعجلونه ولايتأخرونه)). رواه أبو داود.
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam keluar menemui kami, sedang kami membaca Al-qur`an, dan diantara kami
juga ada dua orang, badui dan `ajam (orang bukan dari suku arab) maka Beliau bersabda:
“Bacalah oleh kalian semua, sebab semua dari padanya adalah kebaikan, dan akan
datang suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan busur panah , mereka
menyegerakannya (pahala) dan tidak mengakhirkannya". (HR. Abu Dawud no:830).
Berkenaan dengan hadits ini disebutkan di dalam
Jami`ul Ushul bahwa setiap bacaan Al-Qur`an yang kita baca, nilainya adalah
kebaikan, dan akan diberikan pahala atasnya. Hal ini jika kita lebih
mengutamakan pahala akhirat ketimbang
balasan di dunia yang disegerakan. Dan janganlah kita -bacaan yang kita baca itu- seperti anak panah yang belum dipasang
bulunya. Sungguh akan datang suatu kaum yang mereka itu menegakkan (memperbaiki( huruf dan
lafadznya, membaguskannya dengan makhraj dan suara, (namun) mereka dengan
bacaan itu mengharapkan kenikmatan dan meninggalkan pahala akhirat. (Jami`ul
ushul II/450).
عن أبي موسى الأنصاري أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول: ((مثل المؤمن
الذي يقرأ القرآن الأترجة طعنها طيب وريحها طيب, ومثل الذي لايقرأ القرآن كمثل
التمرة طعمها طيب ولا ريح لها, ومثل الفاجر الذي يقرأ القرآن كمثل الريحانة ريحها
طيب ولا طعم لها, ومثل الفاجر الذي لايقرأ القرآن كمثل الحنظلة طعمها مر ولا ريح
لها)).
Artinya: Dari Abi Musa Al Anshariy bahwa Nabi
Shollallahu'alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin yang
membaca Al-Qura’an seperti buah Utrujah
rasanya enak dan aromanya lezat, dan perumpamaan seorang mukmin yang
tidak membaca Al Qur’an adalah seperti buah korma rasanya enak tapi tidak
beraroma, dan perumpamaan seorang fajir yang membaca Al-Qur’an adalah seperti
buah Raihanah aromanya lezat tapi tidak ada rasa, dan perumpamaan seorang fajir
yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Handhalah rasanya pahit dan
tidak pula beraroma”. (HR. Bukhari no:5020, Muslim no:243, Ahmad no:19566).
Masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan betapa besarnya pahala
dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang mau berteman dengan
Al Qur’an. Hadits-hadits diatas hanyalah sebagai cuplikan guna mengobati hati
yang selalu merindukan Al-Qu'an.
II.
Adab-Adab
Dalam Membaca Al Qur’an
Al-Qur’an
adalah suatu firman yang suci, membacanya adalah suatu keutamaan dan
mengamalkannya dengan benar adalah suatu rahmat yang diberikan oleh Allah
Subhanahu wa ta'ala kepada hamba-Nya.
Dan di antara adab-adab di dalam membaca Al-Qur’an
yang patut diperhatikan oleh setiap yang membacanya adalah sebagai berikut:
1.
Sebaiknya seorang yang
hendak membaca Al-Qur’an berwudhu terlebih dahulu, juga memperhatikan adab-adab
yang baik, duduk bersila, tidak bersandar, atau duduk dengan posisi sekenanya
atau dengan posisi yang menggambarkan kecongkakan seseorang. Keadaan yang bagus
saat membaca Al Qur’an adalah saat berdiri dalam shalat dan dikerjakan didalam
masjid. (Minhajul Qosidin, hal:145)
2. Mengkhatamkan Al-Qu'an tidak lebih dari tiga hari.
Tentang
banyaknya bacaan, maka kebiasaan orang-orang salaf berbeda-beda. Di antara
mereka ada yang khatam selama sehari semalam, ada pula yang sekali khatam dalam
waktu satu pekan, ada yang sekali khatam untuk satu bulan, hal itu tergantung
pada kesibukan masing-masing. Yang terpenting adalah jangan sampai membaca
Al-Qur’an itu menghambat dari mengerjakan hal yang lebih penting, tidak sampai
menyiksa badan, dan hendaknya ia membaca dengan tartil dan memahami
kandungannya.
Ibnu
Abbas berkata: "Aku lebih suka
membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran secara tartil dan mendalaminya, dari
pada membaca seluruh Al-Quran dengan tergesa-gesa.
Barang
siapa waktu longgarnya lebih banyak, maka hendaklah ia gunakan untuk membaca
Al-Qu'an agar beruntung dan mendapat pahala yang banyak. (Minhajul Qoshidin
hal:46)
Dalam
hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abdullah bin Amru bahwasanya Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya: “Bacalah Al-Qur’an dan khatamkanlah dalam
sebulan !”, dia berkata: “Saya mampu
lebih dari itu”. Beliau bersabda:
“Khatamkanlah dalam 20 hari !” ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya: “Bacalah Al-Qur’an dalam 15
hari”. ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda padanya: “Khatamkan
dalam 10 hari” ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda padanya: “Khatamkan dalam 7 hari dan jangan kau tambah lagi”.
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Tidaklah akan paham (mentadaburinya)
orang yang mengkhatamkan kurang dari tiga hari." (Aunul Ma`bud: IV/266).
Adapun
jika di dalam bulan Ramadhan tidaklah mengapa seseorang mengkhatamkan Al-qur`an kurang dari 3 hari. Hal ini
sebagiamana halnya yang pernah dilakukan oleh sahabat Ustman Bin Affan, beliau
pernah mengkhatamkan Al-qur`an (seluruhnya) dalam satu raka’at witirnya.
Dan
Imam Asy Syafi`i juga pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu bulan Ramadhan
sebanyak 60 kali. Tapi membaca Al-qur`an itu hendaknya dilakukan dengan rutin
meskipun hanya sedikit.
Ibnu
Mas`ud pernah berkata: "Barang
siapa yang mengakhatamkan Al-Qur`an, maka ia memiliki do’a yang mustajab
(terkabulkan). Maka pernah (sering) apabila Anas bin Malik mengkhatamkan
Al-qur`an, ia mengumpulkan keluarganya untuk berdoa.
3. Seakan-akan menangis ketika membaca Al-qur`an.
Imam
Nawawi mengatakan bahwa menangis tatkala membaca Al-qur`an adalah sifatnya para
`Arifin dan Sholihin. Imam Al-Ghazali juga menambahkan: “Disukai menangis
tatkala sedang membaca Al-Qur’an, dan jalan untuk melakukannya bisa dengan cara
menghadirkan dan menghasung hatinya dengan kesedihan dan rasa takut, seraya
mentadabburi ancaman dan janji Allah (yang mengerikan), kemudian dengan melihat
segala kekurangan pada dirinya. Jika dengan cara inipun belum bisa menjadikan hatinya
sedih maka hendaklah ia menangis lantaran kegagalannya, karena itu adalah suatu
musibah yang besar. (Fathul Bari:
IX/120).
Dalam
sebuah hadits disebutkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu'anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Bacakanlah Al-Qur’an untukku",
maka aku katakan: "Akankah aku
harus membacakan Al-Qur’an kepadamu, padahal Al-Qur’an diturunkan
kepadamu?" beliau menjawab:
"Sesungguhnya aku ingin mendengarkannya dari orang lain".
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa tatkala bacaan itu sampai pada ayat
(Annisa': 41) yang berbunyi: "Maka
bagaimanakah (halnya orang-orang kafir) apabila kami mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi
atas mereka itu (sebagai umatmu)". Beliau seketika memerintahkan sahabat
Ibnu Mas'ud untuk menghentikan bacaannya sedang kedua mata beliau telah
bercucuran dengan air mata.
4. Mengawali
dengan Ta’awwudz.
Hendaknya
seseorang jika hendak memulai bacaan Al-Qur’an didahului dengan membaca "أعوذ
بالله من الشيطان الرجيم" dan
ini adalah pendapat jumhur, meskipun sebagian ulama’ mengatakan bahwa ta’awwudz
itu dibaca setelah bacaan Al-qur’an, dengan dasar firman Allah Ta'ala … An
Nakhl:98… mana ayatnya?…, akan tetapi pendapat yang pertamalah yang lebih
masyhur (benar). (At Tibyan, hal:5).
5. Senantiasa
membaca Basmalah.
Disyari’atkan
bagi setiap orang untuk membaca basmalah pada setiap permulaan surat kecuali
surat At-Taubah.
6. Mengulang-ulang
bacaan ayat-ayat tertentu sebagai bentuk pentadabburan.
Diriwayatkan
dari Abu Dzar ia berkata: “Nabi Shallallahu'alaihi wasallam shalat dan
mengulang-ulang (satu) ayat sampai pagi”. (HR. Ahmad V/149, An Nasa‘i II/177,
Ibnu Majah no:1350).
Adapun
ayat itu adalah:
((إن تعذبهم فإنهم عبادك))
Artinya: “Jika Engkau mengazab mereka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu”. (QS. Al Maidah:118).
7. Membaca
dengan tartil.
Firman
Allah Ta'ala:
((ورتل القرآن ترتيلا)). المزمل:4
Artinya: “Bacalah Al-Qur’an itu dengan bacaan
yang tartil (perlahan)”. (QS. Al Muzammil:4).
Dalam hadits disebutkan:
عن معاوية بن قرة رضي الله
عنه عن عبد الله بن مغفل رضي الله عنه قال: ((رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة على ناقته يقرأ سورة الفتح يرجع في
قراءته)).
Artinya:
Dari Mu’awiyah bin Qurrah Radhiyallahu'anhu dari Abdullah bin Mughafal
Radhiyallahu'anhu ia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam pada hari pembukaan kota Mekkah
berada
di atas ontanya membaca surat Al Fath dan mengulang-ulangnya”. (HR. Bukhari
VI/238, Muslim VI/81, Abu Dawud no:1467).
III. Hukum
membaguskan bacaan
Dianjurkan
untuk membaguskan suara ketika membaca Al Qur’an. Jika tidak bisa, hendaknya
diusahakan agar bagus menurut kemampuannya. Namun orang-orang salaf memakruhkan
bacaan dengan lagu. (Minhajul Qoshidin 47)
Al-Qadhi mengatakan: "Para ulama' telah sepakat
atas disukainya membaguskan suara dan mentartilkan bacaan Al Qur’an".
(Shahih Muslim III/71).
Melagukan bacaan adalah perkara yang diperselisihkan,
Malik dan Jumhur membenci hal itu karena mengeluarkan seseorang dari kekhusu'an
dan tadabbur. Adapun Abu Hanifah dan Jama'ah ulama' salaf membolehkan hal itu.
Untuk lebih jelasnya akan kami terangkan beberapa pendapat dan dalil-dalilnya
dari setiap kelompok:
1. Kelompok yang tidak membolehkan.
Hadits
Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu'anhu berkaa:
Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang jahr (keras) dalam membaca
Al Qur’an seperti orang yang bersedekah dengan jahr. Dan orang yang membaca
dengan sir (pelan) seperti orang yang bersedekah dengan sir". (HR. Abu
Dawud 1333, Turmudzi 3086, Ahmad IV/151,158, An Nasa'i V/80 dengan sanad yang
shahih).
Imam
Turmudzi mengatakan bahwa hadits ini kedudukannya hasan. Adapun maksud dari
hadits ini adalah orang yang membaca Al-Qur’an dengan sir
adalah lebih baik dari mereka yang membacanya dengan jahr, karena
sedekah dengan sir itu lebih baik dari sedekah yang dilakukan dengan jahr
(terang-terangan), sebagaimana yang telah disepakati oleh ahli ilmu.
2. Kelompok yang membolehkan.
Dari
Abdillah Ibu Abi Yazid berkata: "Abu Lubabah melewati kami, kemudian ia memasuki rumahnya,
maka kami pun mengikutinya sampai masuk rumah ….kami mendengar Dia berkata :
“ Kami pernah mendengar
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah dari golongan kami orang yang
tidak membaguskan/melagukan bacaan Al-qur`an". Dia berkata : "Maka
aku berkata kepada Abu Malikah, Wahai Abu Muhammad, bagaimana pendapatmu jika
(seseorang) tidak bisa membaguskan suaranya ?." Ia menjawab: "Hendaknya ia lakukan dengan
semampunya." ( Jami`ul Ushul II/458, Hadist riwayat Abu Dawud no:1471 ).
Imam
Al-qurthubi mengomentri hadits ini:
“Tidaklah dari golongan kami
orang yang tidak membaguskan
suaranya". Seperti ini juga apa yang dikatakan oleh Abdullah Ibnu Malikah. (Tafsir Al-qurthubi
I/11).
Dari
Abu Musa Al-As`ari Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
((لقد أوتيت
مزمارا من مزامير آل داود))
"Sungguh
engkau telah dianugerahi seruling dari seruling-seruling keluarga Dawud".
Maksud
dari seruling adalah suara, adapun maksud dari keluarga Dawud adalah nisbat Dawud itu sendiri karena tidak
ada periwayatan yang menjelaskan bahwa di antara anak cucunya yang menpunyai
suara yang bagus. (HR. Bukhari VI/24, Muslim VI/80).
Dari
Al-Barro` Radhiyallahu'anhu berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam membaca pada
shalat Isya` dengan والطين والزيتونmaka
aku tidak pernah mendengar suara yang lebih baik dari itu". (HR. Bukhari
I/194, Muslim IV/181¸ Ahmad IV/ 298-302, Ibnu Majah no:834,835).
Dan
Allah Maha tahu atas segala sesuatu, dalam menyimpulkan antara dua pendapat ini penulis akan mengetengahkan
pendapat Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan ulama` yang lain, beliau
mengatakan: "Dan di antara jalan penggabungan antara hadits dan atsar yang
banyak ini, bahwa membaca Al-qur`an dengan suara yang pelan itu bisa menjauhkan
dari riya`, dan hal ini lebih baik dan afdhal bagi mereka yang takut riya`.
Adapun bagi mereka yang tidak takut akan terjerumus kedalam riya` maka
mengeraskan suara itu lebih baik baginya, karena hal itu bisa menjadikan
dirinya semangat dan membangunkan orang-orang yang sedang tidur dan
bermalas-malas." (At-Tibyan Fie Adabi Hamlil Qur`an, hal: 70).
Dan
dalam hal ini Imam Syafi`I memberikan dua jawaban yang sangat toleran bagi
masing-masing pendapat:
§
Makruh: Jika hal itu bisa merubah (makna) dan melapui
batas-batas dalam hukum Al-qur`an yang
telah disepakati.
§
Tidak Makruh: Jika tidak merubah makna dan hukum tajwid.
1. Mengkhususkan surat-surat tertentu dari
Al-Qur’an lalu menamakannya dengan surat-surat penyelamat (pelindung). Seperti
surat Al Kahfi, As Sajadah, Yaasin, Fushilat, Ad Dukhan, Al Waqi’ah, Al Hasyr
dan Al Mulk.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah
menjelaskan baik dengan perkataan, perbuatan atau taqrir tentang dibolehkannya
ruqyah, namun belum pernah beliau mengkhususkan surat-surat di atas lalu
mensifatinya atau menamakan dengan surat-surat penyelamat. Dan telah terap dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam
bahwasanya beliau melindungi dirinya dengan surat-surat (Al-Qur’an), seperti:
Al Ikhlash, Al Falaq dan An Nas. Akan tetapi
barang siapa yang mengumpulkannya secara khusus kemudian menghafalkannya
serta berdo’a hanya dengan itu, maka ia telah masuk dalam lingkaran bid’ah.
3. Do’a setelah khatam Al-Qur’an dengan do’a-do’a tertentu.
Do’a setelah khatam Al-Qur’an adalah
masyru’, namun hal ini jangan sampai
menjadi suatu kebiasaan atasnya dan tidak pula dengan lafadz-lafadz
tertentu.
Karena hal ini belum pernah dilaksanakan
oleh Shallalahu 'Alaihi Wasallam, akan tetapi hanya dilakukan oleh sebagian
sahabat saja. Begitu juga dibolehkan untuk menyajikan makanan setelah khatam Al-Qur’an selama hal
itu tidak menjadi tradisi yang dilazimkan setelah khataman.
4. Membagi-bagikan kepada setiap yang hadir dalam majelis qiro’ah
sebagian-sebagian dari Al-Qur’an untuk kemudian dibaca sendiri-sendiri.
Tidaklah dikatakan mengkhatamkan al-Qur’an setelah selesainya dibaca.
5. Melazimkan bacaan Al-Qur’an secara berjama’ah dengan satu suara saja,
dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu adalah bid’ah.
Adapun jika setiap orang membaca sendiri-sendiri
dan yang lain mendengarkannya tidaklah
mengapa, hal ini sebagaimana hadits Shallalahu 'Alaihi Wasallam:
((ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون
كتاب الله ويتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم
الرحمة وخفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده))
Artinya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca Al-qur`an dan mempelajarinya
bersama-sama, kecuali akan turun kepada
mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat,
kemudian Allah akan menyebut-nyebut
mereka di antara mereka yang berada di sisi Allah." ( Muslim no:2699, Abu Dawud no:4946, Turmudzi
no:1425).
6. Mengumpulkan manusia dan menyuruhnya untuk membacakan Al-Qur’an dengan
tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk mendapatkan berkah, terhadap profesi yang
dijalaninya.
7. Membacakan surat-surat atau ayat-ayat tertentu dan khusus –kemudian hal
itu dijadikan suatu kebiasaan- pada acara-acara apel pagi/sore kepada
murid-murid sekolah sebagai bentuk pendidikan adalh perkara bid’ah.
Dibolehkannya hal itu jika ayat/suratnya
berbeda-beda atau diambilkan dari hadits-hadits shahih ataupun dari perkataan
ulama’.
8. Menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kertas
kemudian membakarnya ataupun mencelupnya di dalam air minum dengan harapan dimudahkan
hafalannya, adalah perkara yang bid’ah, sebab hal ini tidak pernah diajarkan
oleh Shallalahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal ifta’ 2/477-489).
Refrensi:
- Mushhaf
‘Utsmani Tarjamah, cetakan Kerajaan Saudi Arabia
- Fathul
Baari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darul Fikr, cet I, Ramadhan 1420, Beirut
Lebanon
- Syarh
Shahih Muslim, Imam An Nawawi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cet I, 1421/2000,
Beirut
- ‘Aunul
Ma’bud, Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Adhim Abadi, Darul Fikr, cet III,
1399/1979, Beirut
- Tuhfatul
Ahwadzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim, Darul Fikr, cet 1415/1995,
Beirut
- Sunan
An Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad Ibnu Syu’aib bin Ali Ibnu Sinan An
Nasa’i, Darus Salam, cet I, Muharram 1420/April1999, Riyadh KSA
- Sunan
Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Arrabi’ie Ibnu Majah, Darus
Salam, cet I, Muharram 1420/April1999, Riyadh KSA
- Musnad
Imam Ahmad, Abu Abdillah Muhammad bin Hanbal, Baitul Afkar, cet 1419/1998,
Riyadh KSA
- Jami’ul
Ushul, Muhammad Ibnul Atsir, Darul Fikr, cet II, 1403/1983, Beirut Lebanon
- Al
Wafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah
- Jami’ul
Ulum Wl Hikam, Ibnu Rajab, Muassasah Ar Risalah, cet V, 1419/1998, Beirut
Lebanon
- Al
Jami’ Liahkami Al Qur’an, Al Qurthubi
- Ad
Durrul Mantsur, Abdurrahman Jalaluddin As Suyuthi, Darul Fikr, cet
1414/1993 Beirut
- Minhajul
Qashidin, Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah, Darul Fikr, cet 1408/1987,
Beirut
- Fatawa
Lajnah Ad Daimah, Ahmad bin Abdurrazaq Ad Duwais, Darul ‘Ashamah, cet I,
1419/1998 Riyadh KSA
- Fiqhus
Sunnah,Sayyid Sabiq
- At
Tibyan Fie Adabi Hamlati Al Qur’an, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An
Nawawi, Maktabah As Sa’iy, Riyadh KSA
- Al
Mu’jamu Al Wasith, Ibrahim Musthafa dkk, Maktabah Al Islamiyah, cet II,
Rabi’ul Awwal 1392/Mei1972, Kairo Mesir
- Al
Munjid Fie Al Lughah, Louis Ma’luf, Darul Masyriq, cet XXI, 1973
Tidak ada komentar:
Posting Komentar