Jumat, 15 Agustus 2014

FADHILAH DAN ADAB MEMBACA AL- QUR`AN

FADHILAH DAN ADAB MEMBACA AL- QUR`AN
Oleh:  Agus Triyono dan Anas Habibi
I.          Fadhilah Membaca  Al-qur`an.
Dalam sebuah hadits  yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud  dari sahabat Utsman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam  bersabda: 

((خيركم من تعلم القرآن وعلمه))

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-qur`an dan mengajarkannya kepada orang lain".  (HR. Bukhari IX/99, Turmudzi no:2909, Abu Dawud no:1452).   
Dan berkata Ath Thibiy: “Sebaik-baik manusia bila ditinjau dari belajar dan mengajarnya  adalah orang yang belajar Al-qur`an dengan sungguh-sungguh lalu ia mengajarkannya kepada orang lain".
Orang yang belajar Al-qur`an itu mempunyai kelebihan, karena secara langsung atau tidak ia telah menjaga dan menyelamatkan ilmu-ilmu syar`i (dien), yang merupakan  ushul/pokok dari segala macam ilmu. Dengan demikian ia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu (dasar) dengan belajarnya itu ,dan sekaligus ia telah bersumbangsih kepada orang lain dengan cara pengajarannya tersebut. Maka jadilah ia seorang mukmin yang paling sempurna. (Aunul Ma`bud:  IV/325).
Dan dalam sebuah hadits yang lain disebutkan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam  bersabda:
((الذي يقرأ القرآن وهو ماهر به مع السفرة الكرام البررة  والذي يقرأ وهو يشتد عليه فله أجران))  
"Orang yang membaca Al-qur`an dan ia mahir (membacanya), maka ia akan bersama para malaikat, sedang orang yang menbaca Al-qur`an dengan terbata-bata  maka baginya adalah dua pahala." (Bukhari: VIII/532, Muslim no:792, Turmudzi no:2906, Abu Dawud no:1454)
Kata-kata mahir di dalam hadits ini bisa berarti bagus hafalannya atau juga bisa diartikan dengan bagus lafadz dan makhrajnya, atau juga bisa mencakup antara keduanya. Dan orang yang menbaca dengan terbata-bata baginya dua pahala, yaitu pahala bacaannya dan pahala kesusahannya dalam membaca Al-qur`an sehingga ia harus banyak mengulang-ulang bacaannya.
Al-Qadhi mengatakan:  "Tidaklah benar bahwa orang yang bacaannya terbata-bata itu pahalanya lebih banyak dari orang yang bacaannya lancar. Tetapi orang yang bacaannya baik dan ia mahir itu lebih baik dan sempurna, hal itu karena bacaannya lebih banyak dan lebih bagus serta banyak terhindar dari kesalahan". (Aunul Ma`bud:  IV/327).
Dan di antara fadhilah membaca Al Qur’an sebagaimana yang telah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam isyaratkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu:
((ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وخفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده))
"Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca Al-qur`an dan mempelajarinya bersama-sama, kecuali  akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, kemudian Allah akan  menyebut-nyebut mereka di antara mereka yang berada di sisi Allah."  ( Muslim no:2699, Abu Dawud no:4946, Turmudzi no:1425).
Dan dalam sebuah hadits disebutkan :
عن أبي أمامة الباهلي قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأ صحابه, اقرؤوا الزهروين: البقرة وسورة آل عمران فإنهما يأتيان يوم القيامة كأنهما غمامتان أو كأنهما غبايتان أوكأنهما فرقان من طير صواف تحاجان عن أصحابهما, اقرؤوا سورة البقرة فإن أخذهما بركة وتركها سرة ولايستطيعها البطلة)).
Dari Abi Umamah Radhiallahu'anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam  bersabda: “Bacalah Al-qur`an sesungguhnya ia datang  pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi pembacanya. Bacalah Azzahrawaini: Al-Baqarah dan Ali-Imran, sesungguhnya keduanya akan datang pada hari kiamat seakan-akan seperti awan (mendung), atau seakan-akan seperti sekumpulan burung-burung, keduanya akan membela bagi sang pemiliknya (pembaca). Bacalah  Al-Baqarah sungguh mengambilnya adalah suatu berkah dan meninggalkannya adalah suatu kerugian dan tidak akan bisa membahayakannya sihir”. (HR. Muslim no:804, VI/78).
An Nawawi mengatakan di dalam syarahnya: “Dinamakan Azzahrawaini karena cahaya dan hidayah kedua surat tersebut serta keagungan pahala yang diberikan”. (Syarah Shahih Muslim: VI/79).
Sedangkan didalam  Jami`ul Ushul bahwa pengibaratan Al-qur`an dengan  awan (mendung) maksudnya adalah bahwa surat tersebut bagaikan sesuatu  yang melindungi manusia dari sesuatu yang mambahayakan dari atas mereka. (Jami`ul Ushul: VIII/4710).
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ القرآن وفينا الأعرابي والعجم، فقال: ((اقرؤوا القرآن فكل حسن وسيجيئ أقوام يقيمونه كما يقام القدح يتعجلونه ولايتأخرونه)). رواه أبو داود.
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu'anhu  berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam keluar menemui kami, sedang kami membaca Al-qur`an, dan diantara kami juga ada dua orang, badui dan `ajam (orang bukan dari suku arab) maka Beliau bersabda: “Bacalah oleh kalian semua, sebab semua dari padanya adalah kebaikan, dan akan datang suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan busur panah , mereka menyegerakannya (pahala) dan tidak mengakhirkannya". (HR. Abu Dawud no:830).
Berkenaan dengan hadits ini disebutkan di dalam Jami`ul Ushul bahwa setiap bacaan Al-Qur`an yang kita baca, nilainya adalah kebaikan, dan akan diberikan pahala atasnya. Hal ini jika kita lebih mengutamakan pahala  akhirat ketimbang balasan di dunia yang disegerakan. Dan janganlah kita -bacaan yang kita baca itu-  seperti anak panah yang belum dipasang bulunya. Sungguh akan datang suatu kaum yang mereka itu menegakkan (memperbaiki( huruf dan lafadznya, membaguskannya dengan makhraj dan suara, (namun) mereka dengan bacaan itu mengharapkan kenikmatan dan meninggalkan pahala akhirat. (Jami`ul ushul II/450).
عن أبي موسى الأنصاري أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول: ((مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن الأترجة طعنها طيب وريحها طيب, ومثل الذي لايقرأ القرآن كمثل التمرة طعمها طيب ولا ريح لها, ومثل الفاجر الذي يقرأ القرآن كمثل الريحانة ريحها طيب ولا طعم لها, ومثل الفاجر الذي لايقرأ القرآن كمثل الحنظلة طعمها مر ولا ريح لها)).
Artinya: Dari Abi Musa Al Anshariy bahwa Nabi Shollallahu'alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Qura’an seperti buah Utrujah  rasanya enak dan aromanya lezat, dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an adalah seperti buah korma rasanya enak tapi tidak beraroma, dan perumpamaan seorang fajir yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Raihanah aromanya lezat tapi tidak ada rasa, dan perumpamaan seorang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Handhalah rasanya pahit dan tidak pula beraroma”. (HR. Bukhari no:5020, Muslim no:243, Ahmad no:19566).        
Masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan betapa besarnya pahala dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang mau berteman dengan Al Qur’an. Hadits-hadits diatas hanyalah sebagai cuplikan guna mengobati hati yang selalu merindukan Al-Qu'an.

II.         Adab-Adab Dalam Membaca Al Qur’an

Al-Qur’an adalah suatu firman yang suci, membacanya adalah suatu keutamaan dan mengamalkannya dengan benar adalah suatu rahmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala kepada hamba-Nya.
Dan di antara adab-adab di dalam membaca Al-Qur’an yang patut diperhatikan oleh setiap yang membacanya adalah sebagai berikut:
1.       Sebaiknya seorang yang hendak membaca Al-Qur’an berwudhu terlebih dahulu, juga memperhatikan adab-adab yang baik, duduk bersila, tidak bersandar, atau duduk dengan posisi sekenanya atau dengan posisi yang menggambarkan kecongkakan seseorang. Keadaan yang bagus saat membaca Al Qur’an adalah saat berdiri dalam shalat dan dikerjakan didalam masjid. (Minhajul Qosidin, hal:145)
2.       Mengkhatamkan Al-Qu'an tidak lebih dari tiga hari.
Tentang banyaknya bacaan, maka kebiasaan orang-orang salaf berbeda-beda. Di antara mereka ada yang khatam selama sehari semalam, ada pula yang sekali khatam dalam waktu satu pekan, ada yang sekali khatam untuk satu bulan, hal itu tergantung pada kesibukan masing-masing. Yang terpenting adalah jangan sampai membaca Al-Qur’an itu menghambat dari mengerjakan hal yang lebih penting, tidak sampai menyiksa badan, dan hendaknya ia membaca dengan tartil dan memahami kandungannya.
Ibnu Abbas berkata:  "Aku lebih suka membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran secara tartil dan mendalaminya, dari pada membaca seluruh Al-Quran dengan tergesa-gesa.
Barang siapa waktu longgarnya lebih banyak, maka hendaklah ia gunakan untuk membaca Al-Qu'an agar beruntung dan mendapat pahala yang banyak. (Minhajul Qoshidin hal:46)
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abdullah bin Amru bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya:  “Bacalah Al-Qur’an dan khatamkanlah dalam sebulan !”, dia berkata:  “Saya mampu lebih  dari itu”. Beliau bersabda: “Khatamkanlah dalam 20 hari !” ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya: “Bacalah Al-Qur’an dalam 15 hari”. ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya:  “Khatamkan dalam 10 hari” ia berkata: “Saya mampu lebih dari itu”. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda padanya: “Khatamkan dalam 7 hari dan jangan kau tambah lagi”. Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Tidaklah akan paham (mentadaburinya) orang yang mengkhatamkan kurang dari tiga hari." (Aunul Ma`bud: IV/266).
Adapun jika di dalam bulan Ramadhan tidaklah mengapa seseorang mengkhatamkan  Al-qur`an kurang dari 3 hari. Hal ini sebagiamana halnya yang pernah dilakukan oleh sahabat Ustman Bin Affan, beliau pernah mengkhatamkan Al-qur`an (seluruhnya) dalam satu raka’at witirnya.
Dan Imam Asy Syafi`i juga pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu bulan Ramadhan sebanyak 60 kali. Tapi membaca Al-qur`an itu hendaknya dilakukan dengan rutin meskipun hanya sedikit.
Ibnu Mas`ud pernah berkata:  "Barang siapa yang mengakhatamkan Al-Qur`an, maka ia memiliki do’a yang mustajab (terkabulkan). Maka pernah (sering) apabila Anas bin Malik mengkhatamkan Al-qur`an, ia mengumpulkan keluarganya untuk berdoa.
3.       Seakan-akan menangis ketika membaca Al-qur`an.
Imam Nawawi mengatakan bahwa menangis tatkala membaca Al-qur`an adalah sifatnya para `Arifin dan Sholihin. Imam Al-Ghazali juga menambahkan: “Disukai menangis tatkala sedang membaca Al-Qur’an, dan jalan untuk melakukannya bisa dengan cara menghadirkan dan menghasung hatinya dengan kesedihan dan rasa takut, seraya mentadabburi ancaman dan janji Allah (yang mengerikan), kemudian dengan melihat segala kekurangan pada dirinya. Jika dengan cara inipun belum bisa menjadikan hatinya sedih maka hendaklah ia menangis lantaran kegagalannya, karena itu adalah suatu musibah yang besar. (Fathul Bari:  IX/120).
Dalam sebuah hadits disebutkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadaku:  "Bacakanlah Al-Qur’an untukku", maka aku katakan:  "Akankah aku harus membacakan Al-Qur’an kepadamu, padahal Al-Qur’an diturunkan kepadamu?" beliau menjawab:  "Sesungguhnya aku ingin mendengarkannya dari orang lain". Dalam riwayat lain dikatakan bahwa tatkala bacaan itu sampai pada ayat (Annisa': 41) yang berbunyi:  "Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir) apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)". Beliau seketika memerintahkan sahabat Ibnu Mas'ud untuk menghentikan bacaannya sedang kedua mata beliau telah bercucuran dengan air mata.
4.       Mengawali dengan Ta’awwudz.
Hendaknya seseorang jika hendak memulai bacaan Al-Qur’an didahului dengan membaca "أعوذ بالله من الشيطان الرجيم" dan ini adalah pendapat jumhur, meskipun sebagian ulama’ mengatakan bahwa ta’awwudz itu dibaca setelah bacaan Al-qur’an, dengan dasar firman Allah Ta'ala … An Nakhl:98… mana ayatnya?…, akan tetapi pendapat yang pertamalah yang lebih masyhur (benar). (At Tibyan, hal:5).
5.       Senantiasa membaca Basmalah.
Disyari’atkan bagi setiap orang untuk membaca basmalah pada setiap permulaan surat kecuali surat At-Taubah.
6.       Mengulang-ulang bacaan ayat-ayat tertentu sebagai bentuk pentadabburan.
Diriwayatkan dari Abu Dzar ia berkata: “Nabi Shallallahu'alaihi wasallam shalat dan mengulang-ulang (satu) ayat sampai pagi”. (HR. Ahmad V/149, An Nasa‘i II/177, Ibnu Majah no:1350).
Adapun ayat itu adalah:
((إن تعذبهم فإنهم عبادك))
Artinya: “Jika Engkau mengazab mereka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu”. (QS. Al Maidah:118).
7.       Membaca dengan tartil.
Firman Allah Ta'ala:
((ورتل القرآن ترتيلا)). المزمل:4
Artinya: “Bacalah Al-Qur’an itu dengan bacaan yang tartil (perlahan)”. (QS. Al Muzammil:4).
Dalam hadits disebutkan:
عن معاوية بن قرة رضي الله عنه عن عبد الله بن مغفل رضي الله عنه قال: ((رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم  يوم فتح مكة على ناقته يقرأ سورة الفتح يرجع في قراءته)).
Artinya: Dari Mu’awiyah bin Qurrah Radhiyallahu'anhu dari Abdullah bin Mughafal Radhiyallahu'anhu ia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam  pada hari pembukaan kota Mekkah  berada di atas ontanya membaca surat Al Fath dan mengulang-ulangnya”. (HR. Bukhari VI/238, Muslim VI/81, Abu Dawud no:1467).

III.        Hukum membaguskan bacaan

Dianjurkan untuk membaguskan suara ketika membaca Al Qur’an. Jika tidak bisa, hendaknya diusahakan agar bagus menurut kemampuannya. Namun orang-orang salaf memakruhkan bacaan dengan lagu. (Minhajul Qoshidin 47)
Al-Qadhi mengatakan: "Para ulama' telah sepakat atas disukainya membaguskan suara dan mentartilkan bacaan Al Qur’an". (Shahih Muslim III/71).
Melagukan bacaan adalah perkara yang diperselisihkan, Malik dan Jumhur membenci hal itu karena mengeluarkan seseorang dari kekhusu'an dan tadabbur. Adapun Abu Hanifah dan Jama'ah ulama' salaf membolehkan hal itu. Untuk lebih jelasnya akan kami terangkan beberapa pendapat dan dalil-dalilnya dari setiap kelompok:
1.       Kelompok yang tidak membolehkan.
Hadits Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu'anhu berkaa:  Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:  “Orang-orang yang jahr (keras) dalam membaca Al Qur’an seperti orang yang bersedekah dengan jahr. Dan orang yang membaca dengan sir (pelan) seperti orang yang bersedekah dengan sir". (HR. Abu Dawud 1333, Turmudzi 3086, Ahmad IV/151,158, An Nasa'i V/80 dengan sanad yang shahih).
Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadits ini kedudukannya hasan. Adapun maksud dari hadits ini adalah orang yang membaca Al-Qur’an dengan sir  adalah lebih baik dari mereka yang membacanya dengan jahr, karena sedekah dengan sir itu lebih baik dari sedekah yang dilakukan dengan jahr (terang-terangan), sebagaimana yang telah disepakati oleh ahli ilmu.
2.       Kelompok yang membolehkan.
Dari Abdillah Ibu Abi Yazid berkata: "Abu Lubabah melewati kami, kemudian ia memasuki rumahnya, maka kami pun mengikutinya sampai masuk rumah ….kami mendengar  Dia berkata :  “ Kami pernah mendengar  Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:  "Tidaklah dari golongan kami orang yang tidak membaguskan/melagukan bacaan Al-qur`an". Dia berkata : "Maka aku berkata kepada Abu Malikah, Wahai Abu Muhammad, bagaimana pendapatmu jika (seseorang) tidak bisa membaguskan suaranya ?." Ia menjawab:  "Hendaknya ia lakukan dengan semampunya." ( Jami`ul Ushul II/458, Hadist riwayat Abu Dawud no:1471 ).
Imam Al-qurthubi mengomentri hadits ini:  “Tidaklah dari golongan kami  orang yang tidak  membaguskan suaranya". Seperti ini juga apa yang dikatakan oleh  Abdullah Ibnu Malikah. (Tafsir Al-qurthubi I/11).
Dari Abu Musa Al-As`ari Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
((لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل داود))
"Sungguh engkau telah dianugerahi seruling dari seruling-seruling keluarga  Dawud".
Maksud dari seruling adalah suara, adapun maksud dari keluarga Dawud  adalah nisbat Dawud itu sendiri karena tidak ada periwayatan yang menjelaskan bahwa di antara anak cucunya yang menpunyai suara yang bagus. (HR. Bukhari VI/24, Muslim VI/80).
Dari Al-Barro` Radhiyallahu'anhu berkata: “Aku mendengar Nabi  Shallallahu’alaihi wasallam membaca pada shalat Isya` dengan والطين والزيتونmaka aku tidak pernah mendengar suara yang lebih baik dari itu". (HR. Bukhari I/194, Muslim IV/181¸ Ahmad IV/ 298-302, Ibnu Majah no:834,835).
Dan Allah Maha tahu atas segala sesuatu, dalam menyimpulkan  antara dua pendapat ini penulis akan mengetengahkan pendapat  Al-Imam Abu Hamid  Al-Ghazali dan ulama` yang lain, beliau mengatakan: "Dan di antara jalan penggabungan antara hadits dan atsar yang banyak ini, bahwa membaca Al-qur`an dengan suara yang pelan itu bisa menjauhkan dari riya`, dan hal ini lebih baik dan afdhal bagi mereka yang takut riya`. Adapun bagi mereka yang tidak takut akan terjerumus kedalam riya` maka mengeraskan suara itu lebih baik baginya, karena hal itu bisa menjadikan dirinya semangat dan membangunkan orang-orang yang sedang tidur dan bermalas-malas." (At-Tibyan Fie Adabi Hamlil Qur`an, hal: 70).
Dan dalam hal ini Imam Syafi`I memberikan dua jawaban yang sangat toleran bagi masing-masing pendapat:
§  Makruh:  Jika hal itu bisa merubah (makna) dan melapui batas-batas dalam hukum Al-qur`an  yang telah disepakati.
§  Tidak Makruh:  Jika tidak merubah makna dan hukum tajwid.
IV.          Bid’ah-bid’ah seputar alqur’an.
1.   Mengkhususkan surat-surat tertentu dari Al-Qur’an lalu menamakannya dengan surat-surat penyelamat (pelindung). Seperti surat Al Kahfi, As Sajadah, Yaasin, Fushilat, Ad Dukhan, Al Waqi’ah, Al Hasyr dan Al Mulk.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskan baik dengan perkataan, perbuatan atau taqrir tentang dibolehkannya ruqyah, namun belum pernah beliau mengkhususkan surat-surat di atas lalu mensifatinya atau menamakan dengan surat-surat penyelamat. Dan telah  terap dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwasanya beliau melindungi dirinya dengan surat-surat (Al-Qur’an), seperti: Al Ikhlash, Al Falaq dan An Nas. Akan tetapi  barang siapa yang mengumpulkannya secara khusus kemudian menghafalkannya serta berdo’a hanya dengan itu, maka ia telah masuk dalam  lingkaran bid’ah.
3.       Do’a setelah khatam Al-Qur’an dengan do’a-do’a tertentu.
      Do’a setelah khatam Al-Qur’an adalah masyru’, namun hal ini jangan sampai   menjadi suatu kebiasaan atasnya dan tidak pula dengan lafadz-lafadz tertentu.
      Karena hal ini belum pernah dilaksanakan oleh Shallalahu 'Alaihi Wasallam, akan tetapi hanya dilakukan oleh sebagian sahabat saja. Begitu juga dibolehkan untuk menyajikan  makanan setelah khatam Al-Qur’an selama hal itu tidak menjadi tradisi yang dilazimkan setelah khataman.
4.       Membagi-bagikan kepada setiap yang hadir dalam majelis qiro’ah sebagian-sebagian dari Al-Qur’an untuk kemudian dibaca sendiri-sendiri. Tidaklah dikatakan mengkhatamkan al-Qur’an setelah selesainya dibaca.
5.       Melazimkan bacaan Al-Qur’an secara berjama’ah dengan satu suara saja, dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu adalah bid’ah.
      Adapun jika setiap orang membaca sendiri-sendiri dan yang lain mendengarkannya  tidaklah mengapa, hal ini sebagaimana hadits Shallalahu 'Alaihi Wasallam:
((ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وخفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده))
      Artinya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca Al-qur`an dan mempelajarinya bersama-sama, kecuali  akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, kemudian Allah akan  menyebut-nyebut mereka di antara mereka yang berada di sisi Allah."  ( Muslim no:2699, Abu Dawud no:4946, Turmudzi no:1425).
6.       Mengumpulkan manusia dan menyuruhnya untuk membacakan Al-Qur’an dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk mendapatkan berkah, terhadap profesi yang dijalaninya.
7.       Membacakan surat-surat atau ayat-ayat tertentu dan khusus –kemudian hal itu dijadikan suatu kebiasaan- pada acara-acara apel pagi/sore kepada murid-murid sekolah sebagai bentuk pendidikan adalh perkara bid’ah.
      Dibolehkannya hal itu jika ayat/suratnya berbeda-beda atau diambilkan dari hadits-hadits shahih ataupun dari perkataan ulama’.
8.  Menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kertas kemudian membakarnya ataupun mencelupnya di dalam  air minum dengan harapan dimudahkan hafalannya, adalah perkara yang bid’ah, sebab hal ini tidak pernah diajarkan oleh Shallalahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal ifta’ 2/477-489).

Refrensi:
  1. Mushhaf ‘Utsmani Tarjamah, cetakan Kerajaan Saudi Arabia
  2. Fathul Baari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darul Fikr, cet I, Ramadhan 1420, Beirut Lebanon
  3. Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cet I, 1421/2000, Beirut
  4. ‘Aunul Ma’bud, Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Adhim Abadi, Darul Fikr, cet III, 1399/1979, Beirut
  5. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim, Darul Fikr, cet 1415/1995, Beirut
  6. Sunan An Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad Ibnu Syu’aib bin Ali Ibnu Sinan An Nasa’i, Darus Salam, cet I, Muharram 1420/April1999, Riyadh KSA
  7. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Arrabi’ie Ibnu Majah, Darus Salam, cet I, Muharram 1420/April1999, Riyadh KSA
  8. Musnad Imam Ahmad, Abu Abdillah Muhammad bin Hanbal, Baitul Afkar, cet 1419/1998, Riyadh KSA
  9. Jami’ul Ushul, Muhammad Ibnul Atsir, Darul Fikr, cet II, 1403/1983, Beirut Lebanon
  10. Al Wafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah
  11. Jami’ul Ulum Wl Hikam, Ibnu Rajab, Muassasah Ar Risalah, cet V, 1419/1998, Beirut Lebanon
  12. Al Jami’ Liahkami Al Qur’an, Al Qurthubi
  13. Ad Durrul Mantsur, Abdurrahman Jalaluddin As Suyuthi, Darul Fikr, cet 1414/1993 Beirut
  14. Minhajul Qashidin, Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah, Darul Fikr, cet 1408/1987, Beirut
  15. Fatawa Lajnah Ad Daimah, Ahmad bin Abdurrazaq Ad Duwais, Darul ‘Ashamah, cet I, 1419/1998 Riyadh KSA
  16. Fiqhus Sunnah,Sayyid Sabiq
  17. At Tibyan Fie Adabi Hamlati Al Qur’an, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, Maktabah As Sa’iy, Riyadh KSA
  18. Al Mu’jamu Al Wasith, Ibrahim Musthafa dkk, Maktabah Al Islamiyah, cet II, Rabi’ul Awwal 1392/Mei1972, Kairo Mesir
  19. Al Munjid Fie Al Lughah, Louis Ma’luf, Darul Masyriq, cet XXI, 1973



Tidak ada komentar:

Posting Komentar